Waruga
di Minahasa diperkirakan berkembang pada sekitar awal abad ke-13
sebelum Masehi. Kemunculan Waruga pertama kali di daerah Bukit Kelewer,
Treman, dan Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara. Kemunculan Waruga
kemudian terus berkembang di berbagai daerah di Sulawesi Utara hingga
awal abad ke-20 Masehi.
Pada zaman pra-sejarah masyarakat Minahasa
masih percaya jika roh leluhur memiliki kekuatan magis. Untuk itu,
kuburan dibuat secara khusus dengan seindah mungkin. Waruga terdiri dari
dua bagian, bagian badan dan bagian tutup. Bagian badan berbentuk kubus
dan bagian tutup berbentuk menyerupai atap rumah.
Uniknya,
waruga tidak dibuat oleh kerabat atau keluarga dari orang yang
meninggal akan tetapi dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggal.
Ketika orang itu akan meninggal maka dengan sendirinya akan memasuki
waruga yang dibuatnya itu setelah diberi bekal kubur lengkap. Suatu hari
bila itu dilakukan dengan sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan bagi
keluarga yang ditinggalkan.
Sebenarnya di Sulawesi Utara banyak
terdapat situs Waruga, salah satunya di Desa Sawangan Kecamatan
Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara. Terdapat 143 buah Waruga di desa
ini yang dibagi dalam beberapa ukuran yang dikelompokkan menjadi 3
kelompok.
Kelompok pertama, Waruga berukuran kecil dengan
ketinggian antara 0-100 cm sebanyak 10 buah. Kedua, Waruga berukuran
sedang dengan ketinggian antara 101-150 cm sebanyak 52 buah. Ketiga,
Waruga berukuran besar dengan ketinggian antara 151-250 cm sebanyak 81
buah.
Waruga sendiri berasal dari bahasa Tombulu, yakni dari suku
kata Wale Maruga yang memiliki arti rumah dari badan yang akan kering.
Waruga juga memiliki arti lainnya yakni Wale Waru atau kubur dari Domato
atau sejenis tanah lilin.
Sumber : www.indonesiakaya.com
0 komentar:
Posting Komentar