Vihara ini seperti sudah menjadi ikon dari Kota Singkawang. Meskipun
tidak berukuran besar, namun vihara ini menjadi yang tertua di
Singkawang. Terletak di Jalan Kelurahan Melayu, Kecamatan Singkawang
Barat, Singkawang, inilah Vihara Tri Dharma Bumi Raya Singkawang.
Vihara Tri Dharma Bumi Raya berdiri sejak tahun 1878. Vihara ini diyakini sebagai tempat peribadatan umat Tri Dharma tertua di Singkawang. Kota ini dahulu menjadi tempat persinggahan orang-orang Tionghoa yang ingin menambang emas di Monterado, Kabupaten Bengkayang. Ketika itu, sekeliling Kota Singkawang masih berupa hutan belantara. Menurut kepercayaan orang Tionghoa, setiap hutan konon memiliki roh penjaga yang melindungi kawasan itu.
Vihara Tri Dharma Bumi Raya berdiri sejak tahun 1878. Vihara ini diyakini sebagai tempat peribadatan umat Tri Dharma tertua di Singkawang. Kota ini dahulu menjadi tempat persinggahan orang-orang Tionghoa yang ingin menambang emas di Monterado, Kabupaten Bengkayang. Ketika itu, sekeliling Kota Singkawang masih berupa hutan belantara. Menurut kepercayaan orang Tionghoa, setiap hutan konon memiliki roh penjaga yang melindungi kawasan itu.
“Maka vihara untuk
peribadatan terhadap Dewa Bumi Raya (Tua Peh Kong) dibangun sebagai
pelindungnya. Orang pandai menjalankan ritual keagamaan asal Tiongkok
bersama Lie Shie dipercaya membawa patung Dewa Bumi Raya dari daratan
Tiongkok dan membangun kelenteng,” kisah Alung salah satu pengurus
Wihara Tri Dharma Bumi Raya mengenai sejarah dibangunnya vihara ini.
Awalnya,
vihara ini hanyalah pondok sederhana tempat transit orang dari luar
Singkawang. Di sekeliling pondok terdapat tempat untuk menambatkan kuda.
Baru sekitar tahun 1920, pondok dirobohkan dan dibangun vihara yang
lebih permanen. Saat kebakaran besar melanda Kota Singkawang di tahun
1930, vihara ini pun ikut ludes terbakar, namun, tiga tahun kemudian
dibangun lagi. Patung Tua Peh Kong dan istrinya yang selamat dari
kebakaran, dipasang di vihara baru ini. Di kiri kanan Patung Tua Peh
Kong dan istrinya terletak patung Dewa Kok Sing Bong dan On Chi Siu
Bong, sedangkan di bagian tengah terdapat patung Budha Gautama.
Pembangunan
kembali vihara ini sempat dilarang penguasa Belanda di Singkawang.
Konon, penguasa Belanda bersedia memberi izin setelah mendapat mimpi
dari Tua Peh Kong. Menurut pendiri Yayasan vihara Tri Dharma Bumi Raya,
yang membedakan vihara ini dengan yang lain adalah keberadaan Ru Yi atau
simbol kekuasaan dan keberuntungan di tangan kanan patung Tua Peh Kong.
Sementara di vihara lain, patung Tua Peh Kong membawa tongkat dengan
botol arak.
Setiap Imlek dan Cap Go Meh tiba, vihara ini ramai didatangi ribuan umat Tri Darma. Mereka tidak hanya datang dari Kota Singkawang, tapi juga dari kota lain di Kalbar dan kota-kota besar Indonesia bahkan dari luar negeri. Sebelum berkeliling kota menjalankan ritual membersihkan kota dari roh jahat, semua tatung atau loya (dukun Tionghoa) dari dalam dan luar Kota Singkawang wajib meminta restu Dewa Bumi Raya di vihara ini. “Ritual tersebut untuk menghindarkan diri dari bahaya, yang kemudian disebut pantang harimau putih oleh warga Tionghoa. Sore hari sebelum Cap Go Meh, para suhu akan datang ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya untuk meminta izin,” tutur Alung.
Pengunjung yang ingin bersembahyang biasanya mendaftarkan diri ke petugas dengan menyebutkan nama dan keinginan mereka. Kemudian, petugas akan mengarahkan ke satu tempat untuk bersembahyang. Petugas inilah yang kemudian ‘berdialog’ dengan Dewa. Sambil membakar dupa, pengunjung pun melakukan sembahyang kepada dewa-dewa, memohon keselamatan dan perlindungan dari roh-roh jahat.
Setelah selesai beribadah, pengunjung kemudian keluar ke sisi kanan kuil dengan membawa kertas kuning dan memasukkan ke dalam ruang pembakaran. Ruang pembakaran tersebut berbentuk seperti kuil bertingkat yang menjulang tinggi ke atas.
Setiap Imlek dan Cap Go Meh tiba, vihara ini ramai didatangi ribuan umat Tri Darma. Mereka tidak hanya datang dari Kota Singkawang, tapi juga dari kota lain di Kalbar dan kota-kota besar Indonesia bahkan dari luar negeri. Sebelum berkeliling kota menjalankan ritual membersihkan kota dari roh jahat, semua tatung atau loya (dukun Tionghoa) dari dalam dan luar Kota Singkawang wajib meminta restu Dewa Bumi Raya di vihara ini. “Ritual tersebut untuk menghindarkan diri dari bahaya, yang kemudian disebut pantang harimau putih oleh warga Tionghoa. Sore hari sebelum Cap Go Meh, para suhu akan datang ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya untuk meminta izin,” tutur Alung.
Pengunjung yang ingin bersembahyang biasanya mendaftarkan diri ke petugas dengan menyebutkan nama dan keinginan mereka. Kemudian, petugas akan mengarahkan ke satu tempat untuk bersembahyang. Petugas inilah yang kemudian ‘berdialog’ dengan Dewa. Sambil membakar dupa, pengunjung pun melakukan sembahyang kepada dewa-dewa, memohon keselamatan dan perlindungan dari roh-roh jahat.
Setelah selesai beribadah, pengunjung kemudian keluar ke sisi kanan kuil dengan membawa kertas kuning dan memasukkan ke dalam ruang pembakaran. Ruang pembakaran tersebut berbentuk seperti kuil bertingkat yang menjulang tinggi ke atas.
Di sisi kanan kuil ada taman kecil
dengan lukisan kehidupan masyarakat Tionghoa yang menggambarkan
keamanan, kedamaian dan kesejahteraan. Pada pagar vihara, terdapat
simbol-simbol yang dipercaya membawa kebaikan bagi warga Tionghoa
seperti, gambar bunga teratai yang dianggap simbol kesempurnaan, karena
bunga ini mampu hidup di tiga alam yang berbeda. Ada juga gambar hewan
seperti naga. Sedangkan gambar koin yang dikelilingi kelelawar
menggambarkan simbol-simbol kemakmuran.
Sumber : www.indonesiakaya.com
0 komentar:
Posting Komentar